Ombudsman menilai,keberadaan pengecer merupakan titik keseimbangan antara supply dan demand terkait akses. Seiring hal itu, Ombudsman mengusulkan agar Pertamina dapat memfasilitas pengecer yang ada kini menjadi pangkalan atau sub-pangkalan resmi. Hal ini untuk memastikan LPG atau elpiji sampai ke masyarakat tetap dengan eceran harga tertinggi (HET).
“Ombudsman kemungkinan akan mempertimbangkan usulan agar pengecer itu di ubah jadi pangkalan. Terutama nanti persyaratan harus ada semacam fleksibilitas begitu ya, tidak perlu seketat seperti pangkalan yang ada sekarang,” ujar Hendra.
Kalau di tingkat pengecer, harga elpiji akan menjadi lebih fluktuatif, selalu akan ada kelebihan harga dari HET yang ditetapkan.
Sementara, Pertamina juga tidak bisa mengawasi para pengecer karena bukan penyalur resmi. Oleh sebab itu, dia menilai, mengubah pengecer menjadi pangkalan elpiji resmi juga akan menjadi salah satu langkah menertibkan pengecer yang ada saat ini.
“Tapi prinsipnya meskipun pengecer itu di anggap bukan penyalur resmi karena penyalur resmi itu sampai pangkalan saja. Tapi Ombudsman melihat keberadaan pengecer itu merupakan titik keseimbangan antara supply dan demand terkait dengan akses. Karena tidak semua pangkalan memiliki akses yang dekat dengan konsumen, nah ini fungsinya pengecer-pengecer ini,” kata dia.
Imbauan
Dengan berubahnya pengecer menjadi pangkalan atau sub-pangkalan elpiji Pertamina, menurut dia, komoditas elpiji akan semakin dekat dijangkau masyarakat dan harganya tetap sesuai HET. Yeka juga mengingatkan untuk tidak salah menginterpretasikan ketika ada harga elpiji ternyata berada di atas regulasi harga eceran tertinggi.
Dia menuturkan, kalau pangkalan atau sub-pangkalan menjual elpiji di lokasi pangkalan sendiri dan melebihi HET. Hal itu memang merupakan sebuah pelanggaran aturan penyaluran.
“(Tapi) kalau harga di rumah (diantar ke rumah), itu bukan lagi harga pangkalan, karena itu ada biaya distribusi di situ kan. Jadi bisa saja masyarakat itu minta di antar ke rumah sehingga ada biaya distribusi, nah hal seperti ini kadang yang menjadi salah interpretasi, di anggap di luar HET, padahal belum tentu karena ada biaya distribusi di sana,” kata dia.
Namun, untuk lebih memastikan masyarakat dengan mudah mendapatkan elpiji sesuai HET. Ombudsman tetap menyarankan agar pengecer yang jelas-jelas berada dekat lingkungan warga bisa menjadi penyalur resmi Pertamina yakni dalam bentuk pangkalan maupun sub pangkalan.
Ketua Ombudsman Soroti Lambatnya DPR Bahas RUU Ombudsman
Sebelumnya, Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih, menyayangkan lambatnya proses pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ombudsman di DPR.
Meskipun masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2024–2029, RUU Ombudsman masih berada di urutan yang rendah, yakni di atas angka seratusan.
Hal ini mengindikasikan urgensi perubahan undang-undang tersebut belum menjadi prioritas. Najih mengungkapkan, fenomena ini bukan kali pertama terjadi.
Pada periode sebelumnya, RUU Ombudsman pernah berada di posisi 108, kemudian naik ke angka 35, lalu ke 18, bahkan sempat masuk ke 10 besar prioritas. Sayangnya, perubahan undang-undang itu tetap belum berhasil di sahkan hingga masa bakti DPR berakhir.
“Untuk periode DPR sekarang 2024-2029, RUU ombudsman masuk prioritas, tapi masih di urutan angka seratusan. Angka di atas seratusan, dan ini memang mengulang sejarah sebelumnya dari angka 108 ke angka 35, kemudian ke angka 18, kemudian di akhir periode hampir masuk ke 10 besar prioritas,” kata Najih saat di temui di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (11/7/2025). Ia juga menambahkan bahwa dalam proses legislasi, kontinuitas pembahasan harus di jaga agar tidak selalu di mulai dari awal.
Menurut Najih, masuknya kembali RUU ini di posisi rendah pada DPR periode baru menunjukkan belum adanya komitmen konkret dari para legislator untuk memperkuat Ombudsman. Ia menegaskan pentingnya dorongan bersama agar pembahasan RUU tidak berulang dari nol dan dapat langsung di lanjutkan.
“Jadi, sekarang ini masih kita istilahnya berangkat dari nol kembali begitu karena DPR-nya baru. Ini yang kita sayangkan gitu. Kita mendorong supaya tidak perlu ada berangkat dari nol karena sudah pernah di bahas di Paripurna maupun di Baleg,” ujarnya.
SUMBER: Liputan6.com
+ There are no comments
Add yours