Surabaya – Malam 1 Suro dan Segala Pantangannya, Malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun baru Jawa, tapi diyakini sebagai malam sakral yang penuh energi spiritual.
Di malam ini, masyarakat Jawa menjalani berbagai ritual tirakat dan doa, sekaligus menghindari sejumlah larangan yang diwariskan turun-temurun.
Mulai dari pantangan menggelar hajatan hingga larangan keluar rumah sembarangan, semua dilakukan demi keselamatan dan ketentraman batin.
Tak heran jika malam Suro sering disebut sebagai waktu “hening” dan penuh introspeksi.
Bukan malam untuk hura-hura, melainkan untuk menyepi, membersihkan diri, dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Lantas, apa saja pantangan yang di yakini tak boleh dilakukan saat malam 1 Suro? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Baca juga : Cara Membersihkan Debu Kipas Angin Tanpa Dibongkar, Praktis dan Efektif
Malam 1 Suro
Malam 1 Suro adalah malam pergantian tahun baru dalam kalender Jawa. seringkali di kira bertepatan dengan malam menjelang
tahun baru Islam 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Padahal, malam 1 Suro dan 1 Muharram merupakan dua hal berbeda, dan tanggalnya pun biasanya berbeda satu.
Kalender Jawa yang di padu dari penanggalan Saka, Islam, dan Masehi, resmi di berlakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusumo untuk memperkuat kesatuan budaya dan agama di tanah Jawa.
Penentuan kalender Jawa oleh Sultan Agung di mulai pada 8 Juli 1633 M (1 Suro 1555 Saka), bersamaan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah.
Hal inilah yang membuat masyarakat sering mengira 1 Suro sama dengan 1 Muharram.
Penanggalan ini sendiri agar masyarakat Jawa (santri dan abangan) menyatu dalam budaya Islam, sekaligus menjaga nilai-nilai leluhur.
“Malam Sakral”, di percaya waktu pintu dunia gaib terbuka untuk membersihkan diri, memohon keselamatan, dan introspeksi spiritual.
Pantangan dan Larangan Malam 1 Suro
Dalam budaya Jawa, malam 1 Suro di anggap sebagai waktu keramat, sehingga ada berbagai pantangan yang sebaiknya di hindari. Berikut sejumlah pantangan dan larangan malam 1 Suro.
Malam 1 Suro dan Pantangannya
Menikah, khitanan, atau acara besar lain di malam Suro di anggap tabu. Di khawatirkan akan mendatangkan nasib buruk, karena di anggap waktu untuk menyendiri dan menyucikan diri, bukan berpesta.
2. Tidak Keluar Rumah Sembarangan
Masyarakat meyakini malam 1 Suro adalah saat dunia nyata dan dunia gaib sangat dekat. Banyak orang memilih berdiam
diri di rumah atau melakukan aktivitas spiritual karena malam ini di yakini rawan gangguan gaib.
3. Menghindari Konflik dan Ucapan Kasar
Orang tua zaman dulu mewanti-wanti anak-anak untuk tidak bertengkar atau berkata kasar, sebab malam ini di anggap membuka pintu energi halus dan bisa memicu hal-hal tidak di inginkan.
4. Tidak Membangun atau Pindah Rumah
Aktivitas besar seperti renovasi, memulai proyek bangunan, atau pindah rumah sebaiknya di hindari. Malam Suro di anggap bukan
waktu baik untuk memulai sesuatu, melainkan saat mengistirahatkan diri dan membersihkan batin.
Baca juga : Prabowo Buka Hubungan Diplomatik Jika Israel Akui Palestina Merdeka
Tradisi Malam 1 Suro
Berbagai tradisi khas di jalankan masyarakat Jawa saat malam 1 Suro, terutama di lingkungan keraton dan desa-desa adat, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan waktu-waktu keramat.
Mulai dari kirab pusaka yang hening tanpa suara, tirakatan semalam suntuk, hingga ritual jamasan dan sedekah gunungan, semua di laksanakan dengan penuh khidmat.
Tradisi ini bukan hanya warisan budaya, tapi juga bentuk perenungan diri dan penyucian batin dalam menyambut tahun baru Jawa. Berikut sejumlah tradisi yang di laksanakan saat malam 1 Suro.
Kirab (arak-arakan) benda pusaka menjadi tradisi utama di keraton-keraton Jawa, seperti Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Benda-benda pusaka seperti keris,
tombak, gamelan, hingga Kebo Bule (kerbau albino) di arak mengelilingi area keraton sebagai simbol pembersihan spiritual dan penghormatan leluhur.
Di Solo, tradisi ini di sebut Kirab Malam 1 Suro, berlangsung tanpa suara (Tapa Bisu Mubeng Beteng), di ikuti para abdi dalem berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sejauh ±5 km.
Peserta kirab menjalani Tapa Bisu, yaitu berjalan tanpa bicara, tanpa makan, dan tanpa minum, sebagai bentuk perenungan diri.
Ini di percaya membantu membersihkan hati, menjernihkan pikiran, dan membuka intuisi batin dalam menyambut tahun baru Jawa.
Jamasan adalah upacara mencuci pusaka (keris, tombak, dan benda bertuah lainnya) dengan air kembang setaman.
Ini di percaya membersihkan energi negatif sekaligus bentuk rasa hormat pada warisan leluhur.
Masyarakat Jawa menggelar tirakatan-berdiam diri sambil merenung dan berdoa. Beberapa daerah menggelar tahlilan bersama, ziarah ke makam
leluhur, atau semedi di tempat yang di anggap sakral seperti puncak gunung, sendang (mata air), atau petilasan.
Di beberapa wilayah, seperti Yogyakarta dan Ponorogo, masyarakat mengarak dan membagikan Gunungan-tumpukan hasil bumi atau makanan-sebagai
simbol syukur kepada Tuhan.
+ There are no comments
Add yours