Sisi Gelap Artificial Intelligence (AI): Senjata Baru Dunia Kejahatan

Estimated read time 6 min read

Artificial Intelligence (AI) – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjanjikan revolusi teknologi di pelbagai sektor. Namun, AI bak pisau bermata dua.

Di satu sisi keberadaannya dinilai memudahkan masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Di sisi lain, dia hadir sebagai momok menakutkan, dan menjadi sahabat baru dunia kejahatan. AI punya sisi gelap.

“Ini merupakan satu situasi yang inevitable, jadi tidak dapat dihindari,” kata Ketua Komtap Cyber Security Awareness, Alfons Tanujaya saat berbincang, Sabtu (31/5/2025).

Alfons mengatakan, perusahaan-perusahaan teknologi besar di dunia seperti OpenAI dan Google berkompetisi dalam mengembangkan AI.

Sebab, kata dia, siapa yang lambat akan ditinggal. Kalah, bahkan lenyap. Negara-negara maju pun demikian. Amerika Serikat, Tiongkok, saling berlomba-lomba merebut panggung untuk menciptakan AI yang pintar dan adaptif

“Jadi memang itu tidak dapat dihindarkan. Dan yang jelas dengan perkembangan yang makin pesat,” ucap Alfons.

Namun kosekuensinya, perkembangan kemampuan artificial intelligence membuat semakin sulit membedakan antara kenyataan dan rekayasa. Batas antara yang palsu dan yang nyata tampaknya samar.

Artificial Intelligence (AI)

AI telah mampu menciptakan konten-konten yang sedemikian meyakinkan, baik dari segi visual, audio, hingga naratif. Hal ini tentu menyulitkan untuk mengidentifikasinya, bahkan pakar IT sekalipun.

“Dan kejahatan yang memanfaatkan AI jelas akan semakin marak,” ucap dia.

Penyalahgunaan AI dalam kejahatan di ruang digital, kata Alfons, kini banyak ditemui. Alfons menyebut pemalsuan video dan suara sebagai bentuk paling nyata dari kejahatan berbasis AI.

Teknologi deepfake dan voice cloning memungkinkan pelaku kejahatan menukar wajah seseorang dalam video, meniru suara seseorang, lalu mengemasnya menjadi konten yang terlihat meyakinkan.

Dia menyebut istilah face changing dan voice changing sebagai fitur-fitur AI yang paling sering digunakan untuk membuat pemalsuan identitas.

Identitas palsu itu lalu digunakan untuk menipu, menciptakan narasi palsu yang seakan-akan autentik, dan memperkeruh ruang digital yang sudah sesak oleh disinformasi.

“Mungkin yang muncul ke permukaan salah satunya pemalsuan video yang sedemikian mudah dan hasil yang sedemikian sempurna. Intinya, konten-konten digital yang sangat sulit dibedakan dengan aslinya, bahkan oleh ahli IT sekalipun yang berkecimpung dengan media konten, sangat sulit membedakan baik dengan mata telanjang maupun dengan analisa media. Jadi itu kenyataannya,” jelas Alfons.

AI Jadi Senjata Baru Dunia Kriminal

AI Jadi Senjata Baru Dunia Kriminal
AI Jadi Senjata Baru Dunia Kriminal

Alfons menilai, potensi kriminal dari AI, sangat besar. Menurut dia, semakin mirip dan tak terdeteksinya konten palsu, semakin besar pula potensi AI dijadikan sebagai alat baru dalam melakukan tindak pidana kejahatan.

“Akan berbondong-bondong konten-konten penipuan dan kejahatan yang akan memanfaatkan AI, menggunakan AI dalam menjalankan aksinya,” ucap Alfons.

Alfons tak memiliki data angka peningkatan kejahatan yang secara langsung terhubung ke AI. Meski begitu, ia menggarisbawahi keberhasilan kejahatan di ruang digital tetap bertumpu pada rekayasa sosial.

Menurutnya, penipuan yang paling berhasil justru lahir dari skema sosial yang dirancang dengan sangat baik, yang membuat korban merasa nyaman, percaya, dan tidak curiga. Dengan kata lain, AI hanyalah alat. Pelaku kejahatanlah yang membuatnya menjadi senjata.

“Jadi tidak melulu mengandalkan konten yang sangat bagus, sangat mirip, bukan. Tetapi kunci penipuan yang paling berhasil adalah yang memanfaatkan rekayasa sosial yang baik. Makin bagus rekayasa sosialnya maka kemungkinan berhasil akan semakin tinggi. Jadi, kunci bukan di konten AI, tapi rekayasa sosial dan penipu yang memang memanfaatkan AI,” ucap Alfons.

Sistem Hukum Tertinggal Jauh dari AI

Masalah lain yang tak kalah gawat adalah ketinggalanna sistem hukum dalam menyikapi kecepatan perubahan teknologi. Tak hanya di Indonesia, bahkan negara-negara maju pun, menurut Alfons, juga kewalahan.

“Jangankan sistem hukum di Indonesia, sistem hukum di luar saja, katakan Uni Eropa, Amerika, saya tidak yakin siap menghadapi tantangan teknologi seperti AI. Karena perkembangan sangat cepat dan sistem hukum sangat lambat mengikuti, membuat aturan, membuat undang-undang atau pelaksanaan sangat lambat di negara maju sekalipun,” tuturnya.

“Apalagi di Indonesia yang untuk bikin aturan saja susah bertahun-tahun. Sudah aturan turun, undang-undang turun dilaksankan bertahun-tahun gitu, ya lebih lambat lagi,” sambung dia.

Indonesia, kata Alfons, tidak bisa berharap banyak pada regulasi AI semata. Alfons menggarisbawahi pentingnya kualitas penegakan hukum ketimbang banyaknya regulasi.

“Saya rasa tanpa undang-undang yang jelimet, dengan Undang-Undang ITE atau Undang-Undang Dasar untuk menerapkan keadilan itu bisa kok melindungi masyarakat, asalkan penegak hukumnya yang memang mempunyai hati dan mau membantu, saya pikir itu memang lebih penting,” ucap dia.

Pada praktiknya, Alfons mengakui, institusi penegak hukum seperti polisi masih tertatih-tatih dalam menangani kejahatan di ruang digital, terlebih yang sudah melibatkan AI.

“Polisi harus meningkatkan kemampuan personelnya untuk lindungi masyarakat dari kejahatan digital saja kelihatannya tertatih-tatih,” ujar Alfons.

Alfons mencontohkan banyaknya kasus kebocoran data yang tidak tertangani, serta minimnya respons terhadap laporan masyarakat.

“Karena banyak kebocoran data yang terjadi kemudian dieksploitasi dan kejahatannya kecil kecil sehingga kalau kami lihat penegak hukum khusunya polisi keteteran kalau kita lapor berapa banyak yang ditindaklanjuti,” ungkap dia.

Alfons menyebut OJK dan Komdigi sebagai pihak yang bisa membantu, walaupun ia juga mengakui efektivitasnya masih perlu dievaluasi.

“Mungkin dibantu oleh OJK atau pihak terkait seperti Komdigi. OJK ada IASC, jadi pelaporan kejahatan digital. Walaupun itu tidak efektif, setidaknya ada IASC yang bisa membantu itu,” terang dia.

 

Cara agar Tidak Mudah Tertipu AI

Cara agar Tidak Mudah Tertipu AI
Cara agar Tidak Mudah Tertipu AI

Agar tak menjadi korban penipuan AI, Alfons menyarankan masyarakat bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar. Dia minta tidak langsung percaya pada informasi atau konten yang beredar, apalagi menyebarkannya secara gegabah.

“Jangan mudah percaya, anda jangan main forward segala macam. Informasi yang kelihatannya menarik, enggak tahunya itu hoaks, lalu anda sebarkan, anda malah terjerat masalah hukum atau hal lainnya,” ucap Alfons.

Dia kembali mengingatkan sulitnya membedakan konten AI, bukan cuma masyarakat awam, bahkan orang IT pun demikian.

Sehingga, bila masyarakat ragu dengan informasi yang diterima, alangkah baiknya untuk mengecek ke sumber terpercaya seperti media mainstream.

“Kalau enggak ada, udah, anggap itu AI dan jangan mudah anda sebarkan,” kata Alfons.

Alfons menyarankan kepada para penegak hukum untuk bergerak cepat bukan hanya soal penindakan, tapi juga pencegahan. Dia kemudian mencontohkan persoalan pembukaan rekening palsu dengan KTP fiktif, yang hingga kini menjadi lahan subur kejahatan di ruang digital.

“Kalau terlalu banyak dicari yang efektif bagaimana membasminya, ya dicari cara yang efektif. Misal, bank dilihat siapa yang buka rekening. Ditindak dengan jelas,” ucap dia.

Alfons menyarankan agar bank memperketat penerapan prinsip Know Your Customer (KYC), termasuk dengan menggunakan alat untuk mengidentifikasi keaslian KTP.

“Kalau pakai itu kan artinya KTP palsu enggak bisa digunakan,” ujar Alfons.

Dia bahkan mengusulkan masyarakat yang terbukti meminjamkan identitasnya untuk kejahatan agar dijerat hukum. “Harus ditindak dengan tegas karena kamu membantu untuk tindakan kejahatan. Kira-kira hal seperti itu yang dilakukan,” kata Alfons.

Ia juga menyarankan agar OJK ikut turun tangan menindak tegas masyarakat yang terbukti meminjamkan KTP untuk membuat rekening palsu.

“Setiap kali ada satu identitas untuk membuka rekening palsu, itu kalau bisa selain diblokir rekeningnya, pemilik rekening juga dikenai sanksi. Diselidiki kalau memang dia sengaja memberikan identitas, itu tidak boleh lagi membuka rekening. Blacklist gitu. Nah, itu sangat membantu dan efektif mengatasi penyalahgunaan identitas untuk membuka rekening palsu,” Alfon menjelaskan.

 

Credit: Liputan6.com

Anda Mungkin Juga Menyukainya

Lebih Banyak Dari Penulis

+ There are no comments

Add yours